Monday 29 October 2012

Industri Buku Di Indonesia


Nah, setelah di tulisan sebelumnya saya sudah membahas tentang pengertian buu dan sejarah awal mua adanya buku di dunia (baca di sini), pada postingan kali ini saya akan membahas tentang industri buku di Indonesia. Oke, cekidooot…

Industri Buku di Indonesia
Industri buku merupakan sebuah industri yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia. Bahkan hampir semua sepakat bahwa dengan buku pula peradaban manusia sekarang ini di bentuk dan dikembangkan sesuai tuntutan zaman. Sepanjang sejarahnya sudah banyak perubahan/evolusi yang telah dilalui oleh industri penerbitan. Banyak sekali pihak-pihak atau stakeholder yang menjadi bagian penting dalam industri ini seperti penulis, penerbit, percetakan, distributor, hingga toko buku.

Di Indonesia, awalnya buku ditulis di atas sebuah batu atau yang biasa kita kenal dengan sebutan prasasti. Banyak sekali prasasti di Indonesia, diantara adalah prasasti batu tulis yang berisi tulisan Prabu Surawisesa, sebagai peringatan terhadap ayahandanya, Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Padjajaran. Kemudian setelah prasarti, bentuk buku di Indonesia beralih ke bentuk gulungan daun lontar.

Sebenarnya, sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia sudah terdapat banyak naskah berbentuk buku ataupun lembaran-lembaran yang ditulis tangan, baik berupa karya sastra, kenegaraan (naskah perjanjian), hingga ayat-ayat suci. Kitab-kitab seperti Nagara Kertagama karya Mpu Prapanca di abad 14, Sutasoma karya Mpu Tantular, dan lain-lain cukup dikenal publik sebagai peninggalan berharga dari sejarah Indonesia.
Buku-buku Islam karya berbagai ulama terkenal juga amat mewarnai dan mempengaruhi budaya dan kehidupan masyarakat saat itu. Sebut saja semisal Kitab Tajussalatin atau Mahkota Segala Raja yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari pada tahun 1603. Bahkan dalam kitab seperti "Serat Centini" dan "Serat Cebolek" yang merupakan karya sastra Jawa kuno, yang tersusun pada abad ke-19, disebutkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 di Nusantara telah banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik di bidang fikih, teologi, dan tasawuf.

"Serat Centini" yang ditulis oleh Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono V, tatkala menjadi putra mahkota pada 1814, malah dengan jelas menuliskan judul-judul kitab yang diajarkan pesantren sejak abad ke-16, seperti Mukarrar (al Muharrar, karya Imam Rafi'i), Sujak (mungkin kitab Taqrib karya Ibnu Suja), Ibnu Kajar (Ibnu Hajar al Haitami, penulis kitab Tuhfatul Muhtaj?), Samarqandi (Abu Laits Muhammad Abu Nasr as Samarqandi, penulis kitab Ushuludin, tanpa judul, sehingga terkenal dengan sebutan pengarangnya), Humuludin (Ihya Ulumuddin karya Imam Gazali), Sanusi (Abu Abdallah Muhammad Yusuf as Sanusi al Hasani, penulis kitab Ummul Barahin atau Durrah yang membahas akidah dari sudut pandang tarekat Sanusiyah), dan lain-lain.

Sementara di luar Jawa terdapat lembaga pendidikan semodel pesantren dengan nama atau istilah lain, seperti meunasah di Aceh dan surau di Sumatra Barat. Mereka juga telah menggunakan kitab-kitab untuk dipelajari, yang nyaris sama dengan kitab-kitab di pesantren Pulau Jawa.

Buku di Zaman VOC
Sejatinya perkembangan yang menandai dimulainya industry buku di tanah air terjadi ketika mesin cetak masuk ke Hindia Belanda abad ke -17 yang dibawa oleh VOC (Verenidge Oostindische Compagnie). Mereka mencetak banyak hal, mulai dari brosur, pamflet, hingga koran dan majalah (Kurniawan Junaedhi, 1995: Rahasia Dapur Majalah di Indonesia). Pada tahun 1778, berdiri perpustakaan Bataviaash Genootschaap vor Kunsten en Watenschappen, dengan koleksi naskah dan karya tulis bidang budaya dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Budaya dan kebiasaan baca pada waktu itu, sebagaimana di daratan Eropa dan Amerika, terbatas pada kaum kolonial, bangsawan, kaum terpelajar, dan pemuka-pemuka agama.

Sejak Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan (surat kabar) dikendalikan sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan percetakannya berlokasi di negeri Belanda. Waktu itu percetakan buku juga dikelola oleh swasta, dimulai pada tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Tiga tahun berselang, percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Ia berpindah tangan lagi ke Ukeno & Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan dalam pemasaran produknya. Di tangan Bruyning Wijt kondisinya akhirnya membaik.

Misi agama juga mempelopori pencetakan buku atau kitab suci. Zending Protestan dilaporkan pertama kali datang ke Indonesia tahun 1831. dan mendirikan sekolah di Tomohon, Minahasa, pada tahun 1850. Di sini mereka mencetak buku, selebaran, dan surat kabar.

Pada akhir abad ke-19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainya sebelum kemerdekaan. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar. Mereka juga menerbitkan koran yang tumbuh dengan subur. Sastra Melayu Tionghoa mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun 1918. Golongan Tionghoa yang hidup lebih makmur dibandingkan dengan golongan bumiputra, dengan sendirinya lebih mampu membeli buku dan membayar langganan koran dan majalah secara teratur. Pada zaman pendudukan Jepang pers Melayu-Tionghoa dihapus. Beberapa bumiputra yang magang di penerbitan milik Tionghoa ini kemudian tumbuh sebagai jurnalis dan penerbit sekaligus, antara lain RM Tirtoadisoerjo dan Mas Marco Katrodikromo, yang dikenal dengan bukunya Student Hidjo.

Tahun 1906, pemerintah kolonial mengubah peraturan sensor barang terbitan. Sebelumnya, setiap penerbit harus menyerahkan naskah mereka kepada penguasa sebelum dicetak. Peraturan baru menerapkan sensor represif, yakni menindak dna membatasi barang cetakan setelah diedarkan. Ini menimbulkan akibat positif berupa maraknya berbagai terbitan, termasuk buku dan majalah.

Buku Anak-Anak
Terdapat fenomena menarik untuk buku buat anak-anak. Pada tahun 1916 saja ternyata sudah ada 61 judul, yakni dengan bahasa Jawa 36 judul dan bahasa Sunda 25 judul. Pada tahun 1921, buku cerita kanak-kanak berbahasa Melayu pertama diterbitkan, berjudul “Cerita Seekor Kucing yang Cerdik”, disadur dari cerita Prancis.

Sementara, monumen bersejarah penerbitan buku anak ditandai dengan terbitnya cerita “Si Samin”, yang merupakan cetak ulang dari buku yang awalnya berjudul “Pemandangan dalam Dunia Kanak-kanak” karangan M.Kasim, tahun 1924. Buku anak-anak kembali mengalami booming pada tahun 1990-an hingga sekarang, terutama dengan membanjirnya komik-komik asal negeri Sakura, Jepang.

Berdirinya Pabrik Kertas Pertama
Hubungan kolonial Belanda di Hindia Belanda dengan pusat yang terhambat karena Perang Dunia I tahun 1918 mengakibatkan suplai kertas dari negeri Belanda terhenti. Agar pasokan tetap seperti semula, NV Gelderland Papier Fabriek di Nijmegen berinisiatif membuka usaha di Hindia Belanda. Tempat yang dipilih sebagai pabrik adalah Padalarang, karena letaknya yang strategis antara Bandung-Jakarta, dekat dengan jalur kereta api, sumber air dengan kualitas bagus untuk pengolahan kertas, dan banyaknya tersedia merang sebagai bahan baku kertas waktu itu. Perusahaan berkembang dan berubah nama menjadi NV Papier Fabriek Padalarang-Leces. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, pabrik ini diambil oleh pemerintah dan menjadi Perusahaan Negara (PN) Kertas Padalarang. Kertas dari daerah ini digunakan untuk pembuatan buku tulis, kertas uang, dan kertas lichtdruk.

Balai Pustaka sebagai Tonggak Awal Industri Buku Indonesia
Penerbit Balai Pustaka (BP) boleh disebut sebagai tonggak awal penerbitan buku secara massal di Indonesia. Penerbitan ini muncul dari pembentukan Commissie Voor de Inlandsche Chool en Voklslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) melalui keputusan pemerintah No 12 tanggal 14 Sepetember 1908. Pada tahun 1917 komisi ini berganti nama menjadi Balai Poestaka dan mulai mencetak ratusan karya, mulai dari buku dalam berbagai bahasa. Puluhan karya sastra pribumi berbahasa Melayu terbit, seperti “Siti Noerbaja” karya Marah Rusli, “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar, “Salah Asuhan”-Abdul Muis, “Lajar Terkembang” - Sutan Takdir Alisjahbana, “Atheis” - Achdiat Kartamihardja, dan masih banyak yang lainnya. Setelah empat tahun pendiriannya, BP memiliki mesin cetak sendiri untuk keperluan seluruh terbitannya.

Buku Pasca Kemerdekaan
Periode setelah kemerdekaan ditandai dengan penerbitan buku-buku dsalam bahasa Indonesia. Terdapat tren melakukan cetak ulang buku-buku, di samping menerbitkan buku baru. Hingga tahun 1950, penerbitan seperti BP masih dominan dan berhasil menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar. Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis seperti Idrus dengan “Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma”; Tambera karya Utuy Tatang Sontani; Pramudya Ananta Toer dengan “Dia Jang Menjerah” dan “Bukan Poasar Malam”; Mochtar Lubis dengan “Si Djamal”. Selain karya anak negeri, BP juga menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor Dostojevsky, John Steinbeck, Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit BP rata-rata memprroduksi buku sebanyak 320 judul pertahun, dengan porsi terbesar masih buku-buku yang cetak ulang dari tahun-tahun sebelumnya.

Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, kebutuhan buku-buku sekolah dapat dibeli di pasar, meskipun banyak dari buku-buku tersebut masih dalam bahasa Belanda. Sejumlah kecil penerbit nasional mulai muncul dengan menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah, di antaranya adalah Pustaka Antara, Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya berpusat di Jakarta. Di Bandung, ada penerbit Ganaco yang mengambil alih percetakan Nix. Situasi yang masih sulit dimanfaatkan segolongan anggota masyarakat yang jeli melihat kesempatan, dengan menstensil buku yang banyak dibutuhkan tetapi kosong di pasaran. Menyalin buku dengan cara menstensil ini kemudian berkembang dengan mengkopi buku aslinya berkat teknologi grafika yang semakin canggih dengan lahirnya mesin cetak offset.
Tahun 1950 lahirlah Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) di Jakarta. IKAPI adalah sebuah asosiasi penerbit buku nasional yang bertujuan membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui buku. IKAPI kini memiliki sekitar 650 anggota di penjuru Nusantara. Di era awal 50-an ini pula sempat populer apa yang disebut buku roman atau majalah picisan berharga murah, yang kebanyakan dikeluarkan oleh berbagai penerbitan di Medan, misalnya Tjerdas, Lukisan Pudjangga, dan lain-lain. Sebagian lagi bertemakan misteri, yang banyak digemari pembaca.

Dunia penerbitan buku agak memulih sejak 1973 dengan adanya proyek Buku Inpres, yakni pengadaan buku bacaan untuk anak sekolah. Untuk buku SD, misalnya, dibeli pemerintah dari 250 penerbit sekaligus dengan jumlah sekitar 500 judul, masing-masing 22.000 eksemplar. Jumlah itu ditingkatkan tahun berikutnya di masa Menteri P dan K, Daoed Joesoef, dengan pesanan masing-masing judul 160.000 eksemplar, merata di seluruh Indonesia. Ketika harga minyak turun drastis, pembelian buku ikut menurun terus, hingga akhirnya pada tahun 1995-1996 tinggal 17.000 eksemplar setiap judul. Untuk SLTP-SLTA, jumlah yang dipesan lewat Proyek Inpres jauh lebih sedikit, sekitar 5000-15.000 eksemplar.

Teknologi Cetak Majalah dan Buku
Perkembangan teknologi cetak buku dan majalah di Indonesia secara langsung mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia, khususnya daratan Eropa dan Amerika. Dimulai dengan penggunaan mesin cetak hasil pengembangan Guttenberg, yang baru masuk ke Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada abad 17. Hingga masa tahun 1960-an, percetakan menggunakan mesin typesetting atau letter press (proses cetak dengan permukaan timbul/menonjol).

Sejalan dengan ditemukannya litografi, yang proses cetak analognya menggunakan permukaan datar dan rata, produksi dapatt dilakukan lebih cepat. Mulai tahun 1970-an, penggunaan mesin cetak offset mulai dilakukan di dalam negeri. Kelompok Kompas Gramedia (KKG), misalnya, awalnya hanya menerbitkan majalah Intisari dengan dibantu percetakan dari luar. Intisari dan Koran Kompas --yang terbit kemudian—ternyata oplahnya terus meningkat sehingga memaksa mereka untuk membuat percetakan sendiri. Mesin-mesin cetak web-offset waktu itu antara lain datang dari merek Pacer (Inggris), double width Goss Urbanite (Amerika), dan Heidelberg (Jerman). Teknologi offset cukup lama bertahan bahkan hingga kini. Yang berubah adalah kemampuan mencetak ukuran kertas yang lebih beragam, kecepatan, dan kapasitas cetak yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya.

Dengan masuknya era digitalisasi, proses percetakan juga ikut berubah. Yang sekarang lazim dilakukan untuk hampir seluruh buku dan majalah adalah Computer to File (CTP), yang halaman per halaman data digital dikonversi menjadi lembar film, kemudian dibuat plat-nya sebagai acuan cetak. Yang paling mutakhir adalah teknik CTP (Computer to Plate), yakni proses pembuatan image (citra/gambar) pada plat tanpa menggunakan proses pembuatan film fotografi. Citra atau gambar langsung dicetak pada plat langsung dari file komputer. Dengan ini, satu proses yaitu pembuatan film dapat dipotong sehingga mempersingkat waktu pencetakan.Teknik CTP ini sudah beredar di Indonesia dalam skala terbatas sekitar tahun 1995-1996, khususnya untuk mencetak buku atau brosur dalam waktu singkat (annual report, prospektus perusahaan go public, dan lain-lain). Penghematan ini bisa percetakan jadikan insentif bagi harga cetak dan menjadi faktor kompetisi untuk menarik pelanggan baru. Tahun 2004, kabarnya Majalah Pantau merupakan majalah yang dicetak dengan teknologi CTP.


Dengan digitalisasi ini muncul pula tren cetak sesuai permintaan (print on demand), yang mencetak buku dalam jumlah sedikit. Ini dimungkinkan dengan majunya teknologi printer, yang minimal menghasilkan tulisan dengan resolusi 600 dot per inch (dpi). Penerbit merasa lebih aman dengan cara ini, karena tidak harus mencetak banyak dengan resiko tidak terjual (sebagai contoh, di Amerika tingkat retur buku mencapai 40%). Cara ini juga lebih bersifat personalisasi, yang memanjakan calon pembeli. Di dalam negeri, belum ada informasi tentang penerbitan buku dengan model ini.

E-Publishing
Di Indonesia, pengaruh penerbitan elektronik di Amerika dan Eropa juga mengilhami penerbit lokal untuk melakukan hal sama. Penerbit pertama yang merilis e-book di Indonesia adalah Penerbit Mizan, pada awal tahun 2001. Buku “Wasiat Sufi Imam Khomeini” yang dibuat dalam 3 jilid berformat PDF dapat diperoleh dengan mengakses www.ekuator.com. E-book ini dapat diperoleh tanpa biaya dengan mendaftarkan diri sebagai anggota. Karena sifatnya yang gratis tersebut, saat awal pertama diluncurkan, sudah ada 4 ribu orang yang men-download. Mizan memperkirakan hingga kini jumlahnya sekitar 30 ribu orang. Ekuator juga menerbitkan e-book gratis “Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan" karya Kwik Kian Gie dan “Lawan Dolar dengan Dinar” karya Zaim Saidi.

Di kalangan anggota mailing list Indonesia, saat ini terkenal kelompok mailing list bu-el (bu-el@yahoogroups.com) yang menyediakan berbagai file gratis buku dan novel asing yang masih dipertanyakan keabsahan hak copy dari sumber aslinya.

Sementara Sanur Online Bookstore dikenal sebagai toko buku online pertama, bukan saja di Indonesia melainkan juga di Asia. Sanur berdiri pada tahun 1996 (www.sanur-online.com), namun tutup setelah dua tahun beroperasi akibat kekurangan pembeli. Pada tahun 2000, mereka muncul lagi dengan manajemen terpisah dari pendiri sebelumnya dan berpindah ke alamat www.sanur.co.id. Kini, mereka menyediakan 30 ribu judul buku untuk dijual, 85% adalah karya lokal. Sayang, perusahaan ini akhirnya mati juga. Ada pula Ekuator Book Gallery (www.ekuator.com) milik Mizan, yang selain menjual buku secara online, juga kerap menyediakan e-book gratis untuk di-download. Banyak penerbit yang juga tampil online dan menjual buku sekaligus, seperti Gramedia, Mizan, dan lain-lain.

Oke, kesimpulan dari industri buku di Indonesia saat ini menurut saya yaitu terdapat peluang dan tantangan yang dihadapi oleh industri buu Indonesia. Peluangnya yaitu, industri buku Indonesia saat ini dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin menjadi penulis profesional. Banyak orang yang malu atau bahkan malas menulis buku, dan banyak juga potensi yang terkubur karena ketiadaan sistem yang mampu memicu potensi seseorang untuk menulis. Namun demikian, industri penulisan buku dapat memberikan peluang bagi mereka yang ingin lebih bergiat melahirkan karya-karya baru. Oleh karena itu, saya kira kehadiran industri penulisan buku patut kita apresiasi bersama. Selanjutnya, peluang yang luas tentu saja akan selalu diringi tantangan. Pertama, akses informasi yang begitu mudah dan cepat membuat masyarakat tidak perlu kesulitan lagi memperoleh ilmu-ilmu baru. Alhasil, mereka dapat membaca dan menulis di manapun mereka suka, seperti di facebook, twitter, blog, dan media jejaring sosial lainnya. Buku kemudian bukan lagi menjadi kebutuhan karena seseorang bisa saja mengunduh e-book atau jurnal-jurnal untuk data penelitian mereka. Kemudian, tantangan selanjutnya adalah adanya peningkatan kualitas buku. Banyak buku yang menjamur di pasaran, namun tergeletak begitu saja karena kualitasnya jauh dari harapan. Menjadi tantangan tersendiri bagi Industri Penulisan Buku untuk memilih serta meng-up grade kualitas para penulis agar tujuannya tercapai, baik sebagai katalisator dalam menciptakan penulis-penulis unggul, maupun sebagai lahan bisnis yang menjanjikan.



No comments:

Post a Comment