Nah, setelah
di tulisan sebelumnya saya sudah membahas tentang pengertian buu dan sejarah
awal mua adanya buku di dunia (baca di sini), pada postingan kali ini saya akan
membahas tentang industri buku di Indonesia. Oke, cekidooot…
Industri Buku
di Indonesia
Industri
buku merupakan sebuah industri yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban
manusia. Bahkan hampir semua sepakat bahwa dengan buku pula peradaban manusia
sekarang ini di bentuk dan dikembangkan sesuai tuntutan zaman. Sepanjang
sejarahnya sudah banyak perubahan/evolusi yang telah dilalui oleh industri
penerbitan. Banyak sekali pihak-pihak atau stakeholder yang
menjadi bagian penting dalam industri ini seperti penulis, penerbit,
percetakan, distributor, hingga toko buku.
Di
Indonesia, awalnya buku ditulis di atas sebuah batu atau yang biasa kita kenal
dengan sebutan prasasti. Banyak sekali prasasti di Indonesia, diantara adalah
prasasti batu tulis yang berisi tulisan Prabu Surawisesa, sebagai peringatan
terhadap ayahandanya, Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Padjajaran. Kemudian setelah
prasarti, bentuk buku di Indonesia beralih ke bentuk gulungan daun lontar.
Sebenarnya,
sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia sudah terdapat banyak naskah
berbentuk buku ataupun lembaran-lembaran yang ditulis tangan, baik berupa karya
sastra, kenegaraan (naskah perjanjian), hingga ayat-ayat suci. Kitab-kitab
seperti Nagara Kertagama karya Mpu Prapanca di abad 14, Sutasoma
karya Mpu Tantular, dan lain-lain cukup dikenal publik sebagai peninggalan
berharga dari sejarah Indonesia.
Buku-buku Islam karya berbagai ulama terkenal juga amat mewarnai dan mempengaruhi
budaya dan kehidupan masyarakat saat itu. Sebut saja semisal Kitab Tajussalatin
atau Mahkota Segala Raja yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari pada
tahun 1603. Bahkan dalam kitab seperti "Serat Centini" dan
"Serat Cebolek" yang merupakan karya sastra Jawa kuno, yang tersusun
pada abad ke-19, disebutkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 di Nusantara telah
banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik di
bidang fikih, teologi, dan tasawuf.
"Serat
Centini" yang ditulis oleh Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono
V, tatkala menjadi putra mahkota pada 1814, malah dengan jelas menuliskan
judul-judul kitab yang diajarkan pesantren sejak abad ke-16, seperti Mukarrar
(al Muharrar, karya Imam Rafi'i), Sujak (mungkin kitab Taqrib
karya Ibnu Suja), Ibnu Kajar (Ibnu Hajar al Haitami, penulis kitab Tuhfatul
Muhtaj?), Samarqandi (Abu Laits Muhammad Abu Nasr as Samarqandi,
penulis kitab Ushuludin, tanpa judul, sehingga terkenal dengan sebutan
pengarangnya), Humuludin (Ihya Ulumuddin karya Imam Gazali), Sanusi
(Abu Abdallah Muhammad Yusuf as Sanusi al Hasani, penulis kitab Ummul
Barahin atau Durrah yang membahas akidah dari sudut pandang tarekat
Sanusiyah), dan lain-lain.
Sementara di luar Jawa terdapat lembaga pendidikan semodel pesantren dengan
nama atau istilah lain, seperti meunasah di Aceh dan surau di Sumatra Barat.
Mereka juga telah menggunakan kitab-kitab untuk dipelajari, yang nyaris sama
dengan kitab-kitab di pesantren Pulau Jawa.
Buku di Zaman VOC
Sejatinya
perkembangan yang menandai dimulainya industry buku di tanah air terjadi ketika
mesin cetak masuk ke Hindia Belanda abad ke -17 yang dibawa oleh VOC (Verenidge
Oostindische Compagnie). Mereka mencetak banyak hal, mulai dari brosur,
pamflet, hingga koran dan majalah (Kurniawan Junaedhi, 1995: Rahasia Dapur
Majalah di Indonesia). Pada tahun 1778, berdiri perpustakaan Bataviaash
Genootschaap vor Kunsten en Watenschappen, dengan koleksi naskah dan karya
tulis bidang budaya dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Budaya dan kebiasaan
baca pada waktu itu, sebagaimana di daratan Eropa dan Amerika, terbatas pada
kaum kolonial, bangsawan, kaum terpelajar, dan pemuka-pemuka agama.
Sejak
Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan (surat kabar)
dikendalikan sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan percetakannya berlokasi
di negeri Belanda. Waktu itu percetakan buku juga dikelola oleh swasta, dimulai
pada tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Tiga tahun berselang,
percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Ia berpindah
tangan lagi ke Ukeno & Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan
dalam pemasaran produknya. Di tangan Bruyning Wijt kondisinya akhirnya membaik.
Misi
agama juga mempelopori pencetakan buku atau kitab suci. Zending Protestan
dilaporkan pertama kali datang ke Indonesia tahun 1831. dan mendirikan sekolah
di Tomohon, Minahasa, pada tahun 1850. Di sini mereka mencetak buku, selebaran,
dan surat kabar.
Pada
akhir abad ke-19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang
Tionghoa peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku,
pamflet, dan terbitan lainya sebelum kemerdekaan. Terbitan mereka terutama
buku-buku cerita dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar. Mereka juga
menerbitkan koran yang tumbuh dengan subur. Sastra Melayu Tionghoa mulai
berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun 1918. Golongan
Tionghoa yang hidup lebih makmur dibandingkan dengan golongan bumiputra, dengan
sendirinya lebih mampu membeli buku dan membayar langganan koran dan majalah
secara teratur. Pada zaman pendudukan Jepang pers Melayu-Tionghoa dihapus.
Beberapa bumiputra yang magang di penerbitan milik Tionghoa ini kemudian tumbuh
sebagai jurnalis dan penerbit sekaligus, antara lain RM Tirtoadisoerjo dan Mas
Marco Katrodikromo, yang dikenal dengan bukunya Student Hidjo.
Tahun
1906, pemerintah kolonial mengubah peraturan sensor barang terbitan.
Sebelumnya, setiap penerbit harus menyerahkan naskah mereka kepada penguasa
sebelum dicetak. Peraturan baru menerapkan sensor represif, yakni menindak dna
membatasi barang cetakan setelah diedarkan. Ini menimbulkan akibat positif
berupa maraknya berbagai terbitan, termasuk buku dan majalah.
Buku
Anak-Anak
Terdapat
fenomena menarik untuk buku buat anak-anak. Pada tahun 1916 saja ternyata sudah
ada 61 judul, yakni dengan bahasa Jawa 36 judul dan bahasa Sunda 25 judul. Pada
tahun 1921, buku cerita kanak-kanak berbahasa Melayu pertama diterbitkan,
berjudul “Cerita Seekor Kucing yang Cerdik”, disadur dari cerita Prancis.
Sementara,
monumen bersejarah penerbitan buku anak ditandai dengan terbitnya cerita “Si
Samin”, yang merupakan cetak ulang dari buku yang awalnya berjudul “Pemandangan
dalam Dunia Kanak-kanak” karangan M.Kasim, tahun 1924. Buku anak-anak kembali
mengalami booming pada tahun 1990-an hingga sekarang, terutama dengan
membanjirnya komik-komik asal negeri Sakura, Jepang.
Berdirinya
Pabrik Kertas Pertama
Hubungan
kolonial Belanda di Hindia Belanda dengan pusat yang terhambat karena Perang
Dunia I tahun 1918 mengakibatkan suplai kertas dari negeri Belanda terhenti.
Agar pasokan tetap seperti semula, NV Gelderland Papier Fabriek di Nijmegen
berinisiatif membuka usaha di Hindia Belanda. Tempat yang dipilih sebagai pabrik
adalah Padalarang, karena letaknya yang strategis antara Bandung-Jakarta, dekat
dengan jalur kereta api, sumber air dengan kualitas bagus untuk pengolahan
kertas, dan banyaknya tersedia merang sebagai bahan baku kertas waktu itu.
Perusahaan berkembang dan berubah nama menjadi NV Papier Fabriek
Padalarang-Leces. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda,
pabrik ini diambil oleh pemerintah dan menjadi Perusahaan Negara (PN) Kertas
Padalarang. Kertas dari daerah ini digunakan untuk pembuatan buku tulis, kertas
uang, dan kertas lichtdruk.
Balai
Pustaka sebagai Tonggak Awal Industri Buku Indonesia
Penerbit
Balai Pustaka (BP) boleh disebut sebagai tonggak awal penerbitan buku secara
massal di Indonesia. Penerbitan ini muncul dari pembentukan Commissie Voor de Inlandsche Chool en
Voklslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) melalui keputusan pemerintah No 12
tanggal 14 Sepetember 1908. Pada tahun 1917 komisi ini berganti nama menjadi
Balai Poestaka dan mulai mencetak ratusan karya, mulai dari buku dalam berbagai
bahasa. Puluhan karya sastra pribumi berbahasa Melayu terbit, seperti “Siti
Noerbaja” karya Marah Rusli, “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar, “Salah
Asuhan”-Abdul Muis, “Lajar Terkembang” - Sutan Takdir Alisjahbana, “Atheis” -
Achdiat Kartamihardja, dan masih banyak yang lainnya. Setelah empat tahun
pendiriannya, BP memiliki mesin cetak sendiri untuk keperluan seluruh
terbitannya.
Buku
Pasca Kemerdekaan
Periode
setelah kemerdekaan ditandai dengan penerbitan buku-buku dsalam bahasa Indonesia.
Terdapat tren melakukan cetak ulang buku-buku, di samping menerbitkan buku
baru. Hingga tahun 1950, penerbitan seperti BP masih dominan dan berhasil
menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar.
Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis seperti Idrus
dengan “Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma”; Tambera karya Utuy Tatang
Sontani; Pramudya Ananta Toer dengan “Dia Jang Menjerah” dan “Bukan Poasar
Malam”; Mochtar Lubis dengan “Si Djamal”. Selain karya anak negeri, BP juga
menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor Dostojevsky, John
Steinbeck, Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit BP rata-rata
memprroduksi buku sebanyak 320 judul pertahun, dengan porsi terbesar masih buku-buku
yang cetak ulang dari tahun-tahun sebelumnya.
Pasca
pengakuan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, kebutuhan buku-buku sekolah
dapat dibeli di pasar, meskipun banyak dari buku-buku tersebut masih dalam
bahasa Belanda. Sejumlah kecil penerbit nasional mulai muncul dengan
menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah, di antaranya adalah Pustaka Antara,
Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya
berpusat di Jakarta. Di Bandung, ada penerbit Ganaco yang mengambil alih percetakan
Nix. Situasi yang masih sulit dimanfaatkan segolongan anggota masyarakat yang
jeli melihat kesempatan, dengan menstensil buku yang banyak dibutuhkan tetapi
kosong di pasaran. Menyalin buku dengan cara menstensil ini kemudian berkembang
dengan mengkopi buku aslinya berkat teknologi grafika yang semakin canggih
dengan lahirnya mesin cetak offset.
Tahun
1950 lahirlah Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) di Jakarta. IKAPI adalah sebuah
asosiasi penerbit buku nasional yang bertujuan membantu pemerintah dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui buku. IKAPI kini memiliki sekitar 650
anggota di penjuru Nusantara. Di era awal 50-an ini pula sempat populer apa
yang disebut buku roman atau majalah picisan berharga murah, yang kebanyakan
dikeluarkan oleh berbagai penerbitan di Medan, misalnya Tjerdas, Lukisan
Pudjangga, dan lain-lain. Sebagian lagi bertemakan misteri, yang banyak
digemari pembaca.
Dunia
penerbitan buku agak memulih sejak 1973 dengan adanya proyek Buku Inpres, yakni
pengadaan buku bacaan untuk anak sekolah. Untuk buku SD, misalnya, dibeli
pemerintah dari 250 penerbit sekaligus dengan jumlah sekitar 500 judul,
masing-masing 22.000 eksemplar. Jumlah itu ditingkatkan tahun berikutnya di
masa Menteri P dan K, Daoed Joesoef, dengan pesanan masing-masing judul 160.000
eksemplar, merata di seluruh Indonesia. Ketika harga minyak turun drastis,
pembelian buku ikut menurun terus, hingga akhirnya pada tahun 1995-1996 tinggal
17.000 eksemplar setiap judul. Untuk SLTP-SLTA, jumlah yang dipesan lewat Proyek
Inpres jauh lebih sedikit, sekitar 5000-15.000 eksemplar.
Teknologi
Cetak Majalah dan Buku
Perkembangan
teknologi cetak buku dan majalah di Indonesia secara langsung mengikuti
perkembangan yang terjadi di dunia, khususnya daratan Eropa dan Amerika.
Dimulai dengan penggunaan mesin cetak hasil pengembangan Guttenberg, yang baru
masuk ke Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada abad 17. Hingga masa tahun 1960-an,
percetakan menggunakan mesin typesetting atau letter press (proses cetak dengan
permukaan timbul/menonjol).
Sejalan
dengan ditemukannya litografi, yang proses cetak analognya menggunakan
permukaan datar dan rata, produksi dapatt dilakukan lebih cepat. Mulai tahun
1970-an, penggunaan mesin cetak offset mulai dilakukan di dalam negeri.
Kelompok Kompas Gramedia (KKG), misalnya, awalnya hanya menerbitkan majalah
Intisari dengan dibantu percetakan dari luar. Intisari dan Koran Kompas --yang
terbit kemudian—ternyata oplahnya terus meningkat sehingga memaksa mereka untuk
membuat percetakan sendiri. Mesin-mesin cetak web-offset waktu itu antara lain
datang dari merek Pacer (Inggris), double width Goss Urbanite (Amerika),
dan Heidelberg (Jerman). Teknologi offset cukup lama bertahan bahkan hingga
kini. Yang berubah adalah kemampuan mencetak ukuran kertas yang lebih beragam,
kecepatan, dan kapasitas cetak yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya.
Dengan
masuknya era digitalisasi, proses percetakan juga ikut berubah. Yang sekarang
lazim dilakukan untuk hampir seluruh buku dan majalah adalah Computer to
File (CTP), yang halaman per halaman data digital dikonversi menjadi lembar
film, kemudian dibuat plat-nya sebagai acuan cetak. Yang paling mutakhir adalah
teknik CTP (Computer to Plate), yakni proses pembuatan image
(citra/gambar) pada plat tanpa menggunakan proses pembuatan film fotografi.
Citra atau gambar langsung dicetak pada plat langsung dari file komputer.
Dengan ini, satu proses yaitu pembuatan film dapat dipotong sehingga
mempersingkat waktu pencetakan.Teknik CTP ini sudah beredar di Indonesia dalam
skala terbatas sekitar tahun 1995-1996, khususnya untuk mencetak buku atau
brosur dalam waktu singkat (annual report, prospektus perusahaan go public, dan
lain-lain). Penghematan ini bisa percetakan jadikan insentif bagi harga cetak
dan menjadi faktor kompetisi untuk menarik pelanggan baru. Tahun 2004, kabarnya
Majalah Pantau merupakan majalah yang dicetak dengan teknologi CTP.
Dengan
digitalisasi ini muncul pula tren cetak sesuai permintaan (print on demand),
yang mencetak buku dalam jumlah sedikit. Ini dimungkinkan dengan majunya
teknologi printer, yang minimal menghasilkan tulisan dengan resolusi 600 dot
per inch (dpi). Penerbit merasa lebih aman dengan cara ini, karena tidak
harus mencetak banyak dengan resiko tidak terjual (sebagai contoh, di Amerika
tingkat retur buku mencapai 40%). Cara ini juga lebih bersifat personalisasi,
yang memanjakan calon pembeli. Di dalam negeri, belum ada informasi tentang
penerbitan buku dengan model ini.
E-Publishing
Di
Indonesia, pengaruh penerbitan elektronik di Amerika dan Eropa juga mengilhami
penerbit lokal untuk melakukan hal sama. Penerbit pertama yang merilis e-book
di Indonesia adalah Penerbit Mizan, pada awal tahun 2001. Buku “Wasiat Sufi
Imam Khomeini” yang dibuat dalam 3 jilid berformat PDF dapat diperoleh dengan
mengakses www.ekuator.com. E-book
ini dapat diperoleh tanpa biaya dengan mendaftarkan diri sebagai anggota.
Karena sifatnya yang gratis tersebut, saat awal pertama diluncurkan, sudah ada
4 ribu orang yang men-download. Mizan memperkirakan hingga kini jumlahnya
sekitar 30 ribu orang. Ekuator juga menerbitkan e-book gratis “Pemberantasan
Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan"
karya Kwik Kian Gie dan “Lawan Dolar dengan Dinar” karya Zaim Saidi.
Di
kalangan anggota mailing list Indonesia, saat ini terkenal kelompok mailing
list bu-el (bu-el@yahoogroups.com)
yang menyediakan berbagai file gratis buku dan novel asing yang masih
dipertanyakan keabsahan hak copy dari sumber aslinya.
Sementara
Sanur Online Bookstore dikenal sebagai toko buku online pertama, bukan saja di
Indonesia melainkan juga di Asia. Sanur berdiri pada tahun 1996 (www.sanur-online.com), namun tutup setelah
dua tahun beroperasi akibat kekurangan pembeli. Pada tahun 2000, mereka muncul
lagi dengan manajemen terpisah dari pendiri sebelumnya dan berpindah ke alamat www.sanur.co.id. Kini, mereka menyediakan
30 ribu judul buku untuk dijual, 85% adalah karya lokal. Sayang, perusahaan ini
akhirnya mati juga. Ada pula Ekuator Book Gallery (www.ekuator.com) milik Mizan, yang selain
menjual buku secara online, juga kerap menyediakan e-book gratis untuk
di-download. Banyak penerbit yang juga tampil online dan menjual buku
sekaligus, seperti Gramedia, Mizan, dan lain-lain.
Oke, kesimpulan dari industri buku di Indonesia
saat ini menurut saya yaitu terdapat peluang dan tantangan yang dihadapi oleh industri
buu Indonesia. Peluangnya yaitu, industri buku Indonesia saat ini dapat
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin menjadi penulis
profesional. Banyak orang yang malu atau bahkan malas menulis buku, dan banyak
juga potensi yang terkubur karena ketiadaan sistem yang mampu memicu potensi
seseorang untuk menulis. Namun demikian, industri penulisan buku dapat
memberikan peluang bagi mereka yang ingin lebih bergiat melahirkan karya-karya
baru. Oleh karena itu, saya kira kehadiran industri penulisan buku patut kita
apresiasi bersama. Selanjutnya, peluang yang luas tentu saja akan selalu
diringi tantangan. Pertama, akses informasi yang begitu mudah dan cepat membuat
masyarakat tidak perlu kesulitan lagi memperoleh ilmu-ilmu baru. Alhasil,
mereka dapat membaca dan menulis di manapun mereka suka, seperti di facebook,
twitter, blog, dan media jejaring sosial lainnya. Buku kemudian bukan lagi
menjadi kebutuhan karena seseorang bisa saja mengunduh e-book atau jurnal-jurnal untuk
data penelitian mereka. Kemudian, tantangan selanjutnya adalah adanya
peningkatan kualitas buku. Banyak buku yang menjamur di pasaran, namun
tergeletak begitu saja karena kualitasnya jauh dari harapan. Menjadi tantangan
tersendiri bagi Industri Penulisan Buku untuk memilih serta meng-up grade kualitas para penulis
agar tujuannya tercapai, baik sebagai katalisator dalam menciptakan
penulis-penulis unggul, maupun sebagai lahan bisnis yang menjanjikan.